Jurnalis Ciamis-Banjar-Pangandaran Gelar Aksi Damai Tolak RUU Penyiaran


ciamiszone.id :

CIAMIS,- Puluhan jurnalis dari Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran menggelar aksi damai menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran Tahun 2002 yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Puluhan wartawan dari berbagai media dan berbagai organisasi wartawan diantaranya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Galuh Raya, Persatuan Wartawan' Indonesian (PWI), Ikatan Penulis Jurnalis Indonesia (IPJI) dan seniman itu melakukan longmach dari sekretariat IJTI di Jalan Ahmad Yani menuju Alun-alun Ciamis, bahkan mereka sempat melakukan jalan mundur sampai depan Gedung DPRD Ciamis, Selasa (28/05/2024).

Tidak hanya berorasi, mereka ‘membentangkan’ sejumlah poster berisikan kalimat tuntutan, protes, kritikan, dan pernyataan dampak buruk kalau RUU Penyiaran disahkan, poster-poster itu bertuliskan, “Jangan Larang Liputan Investigasi Eksklusif”, “Tindakan Aparat Brutal Pembungkaman UU Pers”, hingga “Kembali ke UU No. 40/1999”.

Tidak hanya para jurnalis, masyarakat umum pun resah dengan draf RUU Penyiaran. Mereka khawatir banyak informasi penting yang tidak bisa dijangkau publik imbas larangan jurnalisme investigasi. Padahal, berbagai kasus dan kejahatan terbongkar di tengah masyarakat karena jurnalisme investigasi dan kebebasan pers.

Ketua IJTI Galuh Raya Ciamis, Yosep Trisna mengatakan, aksi Solidaritas Jurnalis Ciamis tersebut untuk melawan dan menyerukan penolakan terhadap Revisi Undang-undang (RUU) tentang Penyiaran yang dikeluarkan Maret 2024,

Menurutnya, aksi solidaritas ini menilai RUU Penyiaran merupakan ancaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Hak masyarakat mendapatkan informasi terkikis bila RUU Penyiaran rampung dan disahkan sebagai undang-undang.

"Pemerintah dan DPR melalui RUU Penyiaran mewujudkan kendali berlebih (Over Kontroling) terhadap ruang gerak warga negaranya. Ini mengkhianati semangat demokratis yang terwujud melalui undang-undang yang dibuat untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi, yaitu Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers," ungkapnya.

Dikatakan Yosep, pada Pasal 50 B ayat 2 RUU Penyiaran, terdapat larangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Larangan ini menunjukkan ketakutan terbongkarnya permasalahan yang penting untuk diketahui publik.

Tidak hanya itu, kontributor Metro TV ini menyebutkan, larangan investigasi dalam RUU merupakan bentuk keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif untuk mengatasi persoalan negara, kanal informasi ini malah dilarang.

“Ini simbol kemunduran kemerdekaan Pers karena berusaha membungkam Pers melalui RUU Penyiaran. Padahal, karya jurnalistik investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang jurnalis," jelasnya.

Menurut Yosep, RUU Penyiaran seharusnya dirancang dengan partisipasi publik. Namun, Komisi I DPR malah merancang RUU Penyiaran dengan tidak berpijak pada asas kepentingan publik atau masyarakat umum, sehingga RUU Penyiaran tidak akan mendapat penolakan dari banyak pihak, apabila prosesnya dilakukan dengan benar yakni memberi ruang partisipasi publik.

"Jika ingin mengatur karya jurnalistik harus melibatkan organisasi jurnalis dan dewan pers serta aktivis-aktivis yang konsen pada isu HAM, kebebasan ekspresi, perempuan, anak dan kelompok minoritas,” tegasnya.

Hal senada diungkapkan Korlap Aksi, Adeng Bustomi yang menurutnya masih ada beberapa pasal kontroversial yang mengancam kebebasan pers dan menghalangi tugas jurnalistik.

"Kami memandang pasal yang multi-tafsir dan membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam kemerdekaan pers,” katanya.

Dijelaskan Adeng, pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf K yang berbunyi “larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik,” berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers.

"Pasal ini terkesan rancu sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Untuk itu, kami mendesak agar pasal-pasal ‘nakal’ ini segera dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor,” jelasnya.

Adeng juga menegaskan, ada sejumlah pasal dalam draf itu berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Pasal 8 ayat 1 disebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Pasal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pers.

“Kami khawatir, Komisi I DPR RI merancang draf ini demi mengutamakan kepentingan pemodal, dengan mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, kita harus menolaknya sebelum penyusunan draf dinyatakan tuntas,” tegasnya.

Korlap Aksi mengatakan, masyarakat non-jurnalis juga harus menyuarakan penolakan RUU Penyiaran. Ia khawatir bila RUU Penyiaran itu rampung dan disahkan, dapat menjadi instrumen negara untuk melakukan kriminalisasi. 

“Sengketa pers yang akan ditangani KPI bertentangan dengan UU Pers dan dapat digunakan penguasa otoritarianisme untuk membungkam kritik. Artinya, semakin banyak jurnalis yang akan dipenjara karena berita,” ungkapnya.Dalam Aksi Solidaritas Jurnalis Ciamis Melawan, mereka menyerukan dan menuntut 8 point' tuntutan, diantaranya,

  1. Penolakan dengan tegas draf RUU Penyiaran versi Maret 2024.
  2. Menyerukan pemerintah pusat dan DPR berhenti membungkam pers atau mengikis hak masyarakat  mendapatkan informasi.
  3. DPR harus melibatkan masyarakat, organisasi jurnalis, dan Dewan Pers dalam perancangan RUU Penyiaran.
  4. Mendesak DPR mengkaji dan merancang ulang RUU Penyiaran dengan mementingkan asas    kebebasan pers dan kepentingan masyarakat, serta tidak mengkhianati Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
  5. Mendesak DPR menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
  6. Meminta DPR memastikan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam       setiap peraturan perundang-undangan
  7. Menuntut KPI tidak ikut campur untuk pengaturan penyiaran media, sementara masih ada Dewan Pers.
  8. Jangan menghalangi jurnalis investigasi yang dianggap menghalangi penyelidikan polisi. (Nank/Eda)*


Post a Comment

0 Comments